-refleksi kang-PUTRA atas pembacaan I Korintus 13:1-13 guna pertemuan Pdt. Se-Klasis GKJ Pwdd, 6 Feb ’10 di Mijen.-
Menggunakan pandangan umum tentang pendeta yang sering disebut dengan pelayan Tuhan, saya memulai refleksi ini. Sekalipun secara pribadi, saya meyakini bahwa semua yang dilakukan umat manusia di atas bumi ini adalah wujud pelayanan kepada Tuhan, setidaknya bagi manusia yang mengakui bahwa Tuhan itu mempunyai kuasa dan sekaligus penguasa atas alam, termasuk dirinya. Membaca I Korintus 13:1-13, saya menangkap bahwa sebenarnya Paulus sedang memberi nasihat kehidupan secara umum yang sebaiknya (kalau dirasa kurang pas dikatakan seharusnya) didasari dengan kasih. Dalam hal ini saya memahami nasihat diberikan sebagai tawaran bukan paksaan atau keharusan untuk dilakukan. Bukankah keputusan untuk mengikuti dan melakukan nasihat atau tidak itu juga bergantung pada si penerima, bukan bergantung pada si pemberi nasihat. Mungkin itu juga yang saya tangkap dalam teori pastoral bahwa penentu keputusan dari berbagai percakapan yang dilakukan adalah si klien bukanlah konselor. Sekalipun disadari atau tidak dalam setiap percakapan seringkali manusia memaksakan pendapat dan kehendak untuk dilakukan oleh pihak lain.
Mencoba memahami nasihat atau tawaran kasih sebagai dasar dalam hidup pelayanan, diawali dengan pengertian bahwa ternyata kasih itu tidak bisa diukur atau ditentukan dengan menggunakan kata-kata. Dalam hal ini saya menangkap bahwa kata-kata yang manis, lembut, sopan, santun, menarik, enak didengar dan diperhatikan bukanlah menjadi jaminan bahwa semua terjadi dengan dasar kasih. Atau mungkin juga kebalikannya, bahwa kata-kata yang tidak sopan, tidak santun, tidak menarik, tidak enak didengar dan diperhatikan belum tentu juga terwujud tidak berdasar kasih.
Paulus berkata dalam ayat 1 “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing.”
Bukankah salah satu tugas pendeta adalah mengajar yang notabene itu diwujudkan dengan kata-kata? Sehingga mungkin baik bila nasihat atau tawaran Paulus juga dipergumulkan, yaitu untuk mendasari setiap pengajaran dengan kasih.
Pada sisi lain, kasih ternyata juga tidak bisa diukur atau ditentukan dengan kehidupan kerohanian yang matang seperti karunia bernubuat, mengetahui segala rahasia dan pengetahuan, bahkan memiliki iman yang sempurna (sekalipun ukurannya tetap sebesar biji sesawi). “Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna” (I Korintus 13:2).
Bukankah pendeta, oleh masyarakat umum ataupun jemaat, kepadanya sering dituntutkan kehidupan kerohanian yang matang tersebut? Entah dengan wujud pernyataan semacam ‘dongane pak pendhita kuwi luwih mandi’. Atau mungkin sadar/tidak sadar, pendeta dituntut untuk mengetahui bahkan menguasai segala macam ilmu agar lebih cepat dan mudah memberikan jawaban atas segala macam pertanyaan yang diajukan jemaat atau masyarakat. Sekalipun sering tuntutan tersebut tidak dibarengi dengan pemberian kesempatan belajar. Agaknya dalam hal ini kita juga diajak untuk menengok tawaran/nasihat paulus tentang kasih yang perlu mendasari karya pelayanan kita.
Selanjutnya Paulus juga menyatakan bahwa kasih tidak bisa diukur dan ditentukana dengan perbuatan baik yang kita lakukan. Entah itu perbuatan suka memberi/berbagi, suka menolong, kegiatan social, rela berkorban, bahkan rela mati untuk memperjuangkan sesuatu sekalipun. “Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku” (I Korintus 13:3).
Bukankah kehidupan pendeta sering diukur dengan ukuran apa yang diperbuat dalam hal suka memberi/berbagi, kegiatan social? Bahkan tidak jarang juga pendeta dituntut untuk tidak berfikir untuk kecukupan kebutuhan hidup keluarga (keuangan, pendidikan anak, dll.), sekalipun juga tidak dibarengi dengan pemenuhan kebutuhan hidup keluarganya. Mungkin kita tetap perlu menengok tawaran/nasihan Paulus tentang kasih yang mendasari hidup pelayanan.
Menurut Paulus:
Kasih sebagai dasar hidup pelayanan hanya bisa diukur dan ditentukan dengan motivasi dan keadaan si pelaku pelayanan. Kasih itu dilakukan dengan cara sabar, murah hati, tidak cemburu, serta bermotivasikan tidak ingin dikenal apalagi ingin terkenal yang bisa membuat orang jatuh pada kesombongan. “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong” (I Korintus 13:4).
Kasih juga bermotivasikan ingin selalu berperilaku yang baik-sopan dengan catatan tidak untuk mencarri keuntungan diri, yang terwujud dalam tidak mudah marah apalagi menyimpan kesalahan orang lain. “Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain” (I Korintus 13:5).
Kasih diwujudkan dengan dasar kebenaran bukanlah keadilan, karena ternyata di dunia ini ada keadilan yang tidak benar. “Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran” (I Korintus 13:6).
Hasil dari kasih sebagai dasar hidup pelayanan adalah perubahan dari sesuatu yang tidak baik (jahat) menjadi sesuatu yang baik. Karena sifat kasih adalah menutupi segala seuatu yang disertai dengan pengharapan akan bahkan kesediaannnya menanggung segala sesuatu, demi kebaikan segala sesuatu itu sendiri. “Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu” (I Korintus 13:7).
Segala sesuatu itu sendiri pada saatnya akan berakhir, berhenti bahkan lenyap kecuali kasih yang tidak akan berakhir, berhenti dan lenyap; melainkan disempurnakan. “Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap. Sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna. Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap.” (I Korintus 13:8-10).
Untuk itulah kita diberi tawaran/nasihat oleh Paulus untuk mendasari hidup pelayanan dengan kasih, dengan menyesuaikan pada perkembangan diri yang semakin dewasa agar pada saatnya kita pun disempurnakan dan mencapai kesempurnaan kasih tersebut. “Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu. Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal.” (I Korintus 13:11-12).
Memang sebagai manusia kita membutuhkan iman dan pengharapan. Namun iman itu sebenarnya telah diberikan Tuhan kepada kita tatkala kita mengaku dia ada dan berkuasa dalam hidup. Dengan iman tersebut kita semua berpengharapan. Untuk itu tugas kita adalah mendasari hidup pelayanan dengan kasih. “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih” (I Korintus 13:13).
Selamat mendasari hidup pelayanan dengan kasih
Karena KASIH ALLAH besertamu selalu.
Shalom bapak, ibu dan saudara/i yang dikasihi oleh Tuhan. Apakah ada diantara bapak, ibu maupun saudara/i yang pernah mendengar tentang Shema Yisrael dan V'ahavta? Kalimat pernyataan keesaan YHWH ( Adonai/ Hashem ) dan perintah untuk mengasihiNya yang dapat kita temukan dalam Ulangan/ דברים/ Devarim 6 : 4 - 6 yang juga pernah dikutip oleh Yeshua/ ישוע/ Yesus di dalam Injil khususnya dalam Markus 12 : 29 - 31, sementara perintah untuk mengasihi sesama manusia dapat kita temukan dalam Imamat/ ויקרא/ Vayikra 19 : 18. Mari kita pelajari cara membacanya satu-persatu seperti yang akan dijabarkan di bawah ini :
BalasHapusUlangan/ דברים/ Devarim 6 : 4 - 6, " שְׁמַ֖ע יִשְׂרָאֵ֑ל יְהֹוָ֥ה אֱלֹהֵ֖ינוּ יְהֹוָ֥ה ׀ אֶחָֽד׃. וְאָ֣הַבְתָּ֔ אֵ֖ת יְהֹוָ֣ה אֱלֹהֶ֑יךָ בְּכׇל־לְבָבְךָ֥ וּבְכׇל־נַפְשְׁךָ֖ וּבְכׇל־מְאֹדֶֽךָ׃. "
Cara membacanya dengan mengikuti aturan tata bahasa Ibrani yang berlaku, " Shema Yisrael! YHWH [ Adonai ] Eloheinu, YHWH [ Adonai ] ekhad. V'ahavta e YHWH [ Adonai ] Eloheikha bekol levavkha uvkol nafshekha uvkol me'odekha
Imamat/ ויקרא/ Vayikra 19 : 18, " וְאָֽהַבְתָּ֥ לְרֵעֲךָ֖ כָּמ֑וֹךָ. "
Cara membacanya dengan mengikuti aturan tata bahasa Ibrani yang berlaku, " V'ahavta l'reakha kamokha "
Untuk artinya dapat dilihat pada Alkitab LAI.
Diucapkan juga kalimat berkat seperti ini setelah diucapkannya Shema
" . בָּרוּךְ שֵׁם כְּבוֹד מַלְכוּתוֹ לְעוֹלָם וָעֶד. "
( Barukh Shem kevod malkuto, le'olam va'ed, artinya Diberkatilah Nama yang mulia, KerajaanNya untuk selamanya )
🕎✡️🐟🤚🏻👁️📜✍🏼🕯️❤️🤴🏻👑🗝️🛡️🗡️🏹⚖️⚓🕍✝️🗺️🌫️☀️🌒⚡🌈🌌🔥💧🌊🌬️❄️🌱🌾🍇🍎🍏🌹🍷🥛🍯🦁🦅🐂🐏🐑🐎🦌🐪🕊️🐍₪🇮🇱